Suatu
hari seorang sahabat pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan
sebutan panti werdha bersama dengan teman‐temannya. Kebiasaan ini mereka
lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita
bisa berbagi pada orang‐orang yang kesepian dalam hidupnya.
Ketika
dia sedang berbicara dengan beberapa ibu‐ibu tua, tiba‐tiba mata sang sahabat
tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan
dengan tatapan kosong. Lalu sang sahabat mencoba mendekati opa itu dan mencoba
mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya
sampai akhirnya si opa menceritakan kisah hidupnya.
Si
opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. Sejak masa
muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk
keluarga saya, khususnya untuk anak‐anak yang sangat saya cintai. Sampai
akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat
besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.
Demikian
pula dengan anak‐anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri
dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Apapun keinginan Anak saya, saya
usahakan agar terpenuhi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga
dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.
Tibalah
dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil
panen kami. Tiba‐tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari
sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat
mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para
pembantu kami karena anak‐anak kami semua tidak ada yg mau menemani saya karena
mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.
Hidup
saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukan
nya. Tidak sebulan sekali anak‐anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar
melalui telepon. Lalu tiba‐tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau
dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut
tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya
juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang‐orang yang saya
kasihi di dalamnya.
Setelah
itu saya ikut dengan anak saya yang sulung. Tapi apa yang saya dapatkan ?
Setiap hari mereka sibuk sendiri‐sendiri dan kalaupun mereka ada di rumah tak pernah
sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi.
Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya
tidak pernah sakit‐sakitan.
Lalu saya
tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan
sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang
lebih menyakitkan semua alat‐alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka
menyediakan semua peralatan dari kayu dengan
alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat‐alat mereka yang
mahal‐mahal itu.
Setiap hari
saya makan dan minum dari alat‐alat kayu atau
plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing
mereka. Setiap hari saya makan dan minum
sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka?
Akhirnya
saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi
melebihi yang lain karena dia dulu adalah
seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? Setelah beberapa lama saya tinggal
disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk
tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya
teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi
saya.
Sekarang
sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk
mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan
saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak‐anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat.
Saya bertanya‐tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian
menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya
mereka ambil.
Saya hanya minta
sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri. Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa
mendapatkan anak‐anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya
teman‐teman dan juga kunjungan dari sahabat‐sahabat yang mengasihi saya tapi
tetap saya merindukan anak‐anak saya.
Sejak itu
sang sahabat selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan
sang opa. Lambat laun tapi pasti kesepian di
mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali‐sekali sang
sahabat membawa serta anak‐anaknya untuk
berkunjung.
TUJUAN : Mengajarkan pada anak‐anak untuk
menyayangi dan menghormati ibu yang telah melahirkan, memelihara, dan
membesarkan mereka
KUTIPAN : Setiap anak mempunyai empat hutang yang
harus dibayarnya, yaitu hormat pada ibu, hormat pada ayah, ketaatan pada guru,
dan bhakti kepada Tuhan